Gelap Terang (cerita pendek)
Gelap Terang
Oleh Ahsana Rizky M.
“Hati manusia adalah
kotak pandora...”
Seorang gadis berjalan pelan di bawah cahaya lampu temaram
lorong kota Las Vegas. Udara dingin menyusup melalui rok pendeknya, menyentuh
tubuh kurusnya. Gadis itu menggigil sesaat. Dibalik high-heels berkilau yang dia kenakan, tumitnya menderita. Bahkan
jaket bermerek yang diberikan oleh pria yang ditemuinya di restoran tadi tidak
mampu membuatnya merasa lebih baik.
Apa yang dipikirkan oleh seorang gadis muda sepertinya
mencari udara segar lewat tengah malam? Entahlah, itulah yang tidak diketahui
oleh orang-orang yang menganggapnya pengganggu, yang memandangnya dengan cara
yang merendahkan. Mereka hanya menilai seseorang dari penampilan luarnya saja.
Walaupun gadis itu juga menyadari kalau penampilannya yang seperti inilah yang
membuatnya terlihat murahan. Berbanding terbalik dari penampilannya saat ini, dirinya
sama sekali bukanlah orang yang istimewa. Dia hanyalah seorang pemeran
pendamping dalam drama tak berkesudahan yang disebutnya sebagai kehidupan.
Terlalu berlebihan memang kalau dibilang dia ingin segera musnah dari dunia ini,
tapi itulah kenyataannya.
Malam ini saja, dia memutuskan untuk keluar rumah karena satu-satunya
anggota keluarga yang masih dia miliki terus-terusan melontarkan kata-kata
kasar padanya. Ayahnya itu sendiri tidak ada bedanya dengan orang-orang tadi.
Uang, uang, uang, hanya itulah yang dipedulikan oleh ayahnya. Pria itu merawat
dan membesarkannya, tapi sampai sekarang, pria itu menganggapnya tidak lebih
dari seorang suruhan. Gadis itu menyayanginya, tapi tidak sebaliknya. Untung
saja, pekerjaannya sebagai model mampu menopang kehidupan mereka berdua, meski
bukan model di perusahaan majalah yang besar, bahkan jam kerjanya pun bisa
dibilang menyebalkan. Berpose di studio pemotretan pada jam 10 malam dengan
bayaran kurang dari 50 Dollar. Uang sebanyak itupun hanya bisa dia dapatkan
sekali seminggu, apa yang dia harapkan? Untuk makan tiga kali sehari dan
membayar transportasinya saja tidak cukup. Belum lagi kalau ayahnya sudah mulai
membuang-buang uang untuk minuman mewah bernama alkohol. Ayahnya memang suka
mabuk-mabukan, tapi dia tidak pernah melakukan tindak kejahatan. Itu membuatnya
merasa sedikit lebih tenang. Tapi dengan hutang-hutang ayahnya, dia sama sekali
tidak bisa “tenang”. Jalanan mulai tampak kabur di matanya. Dengan lesu, dia
melangkah pulang kerumah sambil merenung, dan dia tidak merasa keberatan.
Begitu sinar matahari menyapa, rutinitas sehari-hari gadis
itu dimulai saat itu juga. Mencuci, memasak, membersihkan rumah, dan masih
banyak lagi, berulang-ulang dia lakukan tanpa merasa bosan. Melelahkan pada
awalnya, tapi dia bertahan, hingga dia tidak bisa merasakan apapun lagi. Itu
malah jauh lebih baik.
Model majalah di malam hari, pelayan rumah makan di siang
hari. Begitulah, setelah urusan rumah selesai, gadis itu akan segera pergi
bekerja di sebuah rumah makan kecil di pinggir kota. Lagi-lagi dengan bayaran
yang menyedihkan. Terkadang dia ingin mencoba bekerja di tengah kota Las Vegas
yang gemerlap. Meski sama-sama bekerja sebagai pelayan rumah makan, pasti
bayarannya akan lebih besar. Dia ingin melakukannya, tapi kalau
dipikir-pikir... siapa yang akan mengurus ayahnya dirumah? Dia terlalu takut
ayahnya akan sakit atau didatangi sekelompok lintah darat yang menagih
hutangnya secara paksa.
Kini jam dinding menujukkan pukul 9 tepat. Berarti dia harus
segera berangkat ke tempat kerja, atau dia akan kena denda. Gadis itu
berlari-lari kecil mengejar waktu. Sepatu kets usang yang dia kenakan beradu
dengan permukaan jalan yang kasar. Restoran tempatnya bekerja kini hanya berjarak
kurang dari 10 meter didepannya. Lonceng diatas pintu depan berbunyi ketika dia
membuka pintu. Dia berkata dengan suara lantang “Aku datang...” dan koki rumah
makan yang mendengar kedatangannya langsung keluar dari dapur, dan melambaikan
tangan padanya sambil tersenyum. Gadis itu membalas sambutan ramah sang koki,
menyapanya “Selamat pagi Tuan Hendrick!”. “Selamat pagi, Jenny. Terlambat
lagi?” tanya Tuan Hendrick, “Maaf... saya bangun agak terlambat hari ini.”
Jawabnya, dengan nada yang penuh rasa bersalah, dia melanjutkan “Tolong jangan
bilang bos, ya?”, “Tenang saja, Jen. Kau tahu aku..” balas sang koki gembira.
Gadis itu, Jennifer, sudah menganggap Tuan Hendrick seperti keluarganya
sendiri. Pria paruh baya pencipta masakan lezat di rumah makan itu benar-benar
baik kepadanya. Dia tidak pernah melaporkan Jenny pada bos mereka meskipun
hampir setiap hari gadis itu datang terlambat. Jenny melepas mantelnya dan menggantungkannya
di loker pegawai, sekaligus mengintip ke dalam ruangan bosnya. ‘Tampaknya si
bos pemarah belum bangun dari tempat tidurnya hari ini’, pikir Jenny sambil
mengela napas lega, lalu dia beranjak dari ruang istirahat pegawai ke counter.
Tak lama kemudian, pelanggan pertama melangkahkan kaki kedalam rumah makan.
Seorang gadis kuliahan. Dia menghampiri Jennifer dan menyebutkan pesanannya. “1
burrito dan segelas diet coke ukuran sedang” kata gadis itu. “Tunggu sebentar, ya”
balas Jenny dengan ramah. Gadis di depannya ini mengangguk, lalu duduk di kursi
paling sudut. Dia menyisakan sebagian tempat duduk di sampingnya. Sepertinya
gadis itu menunggu seseorang, mungkin kekasihnya.
Selang beberapa menit, seorang pria memasuki rumah makan dan
duduk disamping gadis tadi. ‘Ternyata benar menunggu seseorang, ya’ pikir
Jenny. Dia kemudian melanjutkan pekerjaannya, dengan sesekali mencuri pandang
pada dua orang yang duduk di sudut restoran itu. Jenny selalu berpikir, betapa
menyenangkannya apabila dia memiliki seorang kekasih. Bukan kekasih yang hanya
ingin memanfaatkannya untuk bersenang-senang saja, tapi seorang kekasih yang
benar-benar menyukainya apa adanya. Bukan berarti dia belum pernah memiliki
seorang kekasih. Pikiran itu membuat Jenny teringat akan masa mudanya, dimana
dia hanya ingin bersenang-senang saja. Waktu itu, keluarga Jenny termasuk
keluarga berada. Ayahnya dulunya adalah seorang karyawan di sebuah kantor
percetakan. Gajinya lebih dari cukup, untuk makan, membiayai sekolah, dan
bahkan untuk mengadakan sebuah pesta ulang tahun untuk Jenny. Suatu ketika,
perusahaan tempat ayah Jenny bekerja membuat sebuah keputusan yang mengejutkan.
Perusahaan itu memotong gaji karyawannya tanpa alasan yang jelas. Sejak saat
itulah ayah Jenny mulai mencari pinjaman kesana kemari. Awalnya ayahnya mampu
untuk mengembalikan pinjaman-pinjaman itu sesuai tenggat waktunya. Namun lama
kelamaan, hutang ayah Jenny semakin menumpuk, dan keluarganya tidak mampu
melunasi hutang-hutang tersebut. Saat Jenny berusia 9 tahun, kedua orangtuanya
memutuskan untuk bercerai, karena ibunya sudah tidak tahan lagi hidup miskin.
Jenny menghela napas. Mengenang hal itu memang tidak ada gunanya, hanya menambah
goresan dalam diatas luka yang tak pernah sembuh. Dan sesaat kemudian, pria
yang tadi bersama si pelanggan wanita melangkah keluar dari restoran.
Seketika lamunan Jenny buyar ketika dia menyadari tanah yang
dipijaknya bergoyang. Gempa bumi. Hanya ada satu hal yang terlintas di
pikirannya, untuk segera keluar dari restoran itu dan menolong dirinya sendiri.
Dia berlari ke arah pintu. Tapi langkahnya terhenti ketika dia mengingat kalau
dia bukanlah satu-satunya orang yang ada di dalam restoran itu. Ada Tuan
Hendrick, seorang pelanggan wanita, dan bosnya yang pemarah. ‘Aku harus
menolong mereka juga’ pikir Jenny. Namun dia tidak bisa menolong
ketiga-tiganya, tidak bila dia ingin keluar dengan selamat. Jenny mulai bimbang
‘Siapa yang akan aku tolong?’ pikirnya. Tuan Hendrick? mungkin saja, karena
pria itu selalu baik padanya. Pelanggan wanita tadi? Setidaknya dia tahu cara
berterima kasih. Si bos? Jelas bukan pilihan yang tepat. Pada akhirnya, Jenny
memutuskan untuk menolong Tuan Hendrick. “Tuan Hendrick! Cepat keluar dari
dapur!” teriak Jenny pada koki itu, diluar dugaan, Tuan Hendrick menjawab
“TIDAK! TIDAK! Jangan menolongku, aku bisa menyelamatkan diriku sendiri,
tolonglah wanita itu! Dia tampak ketakutan...”. Jenny menghampiri wanita
tersebut dan menggandeng tangannya dan mengatakan “Ayo kita keluar dari sini!
Kita tidak punya banyak waktu!” wanita itu menjawab “Lepaskan tanganku! Aku mau
mati saja. Sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup! Cepat LEPASKAN!” dan wanita
itu menepis tangannya, lalu kembali dalam lamunannya sambil berlinang air mata
dan amarah. Jenny tersentak. Pikiran gadis itu mulai kalut. Ada 3 orang di
restoran itu, jika dia tidak bisa menyelamatkan salah satunya, dia akan merasa
sangat bersalah. ‘Tidak ada pilihan lain, aku harus menyelamatkan bos” pikir
Jenny. Ketika dia memasuki ruangan bosnya untuk mengajaknya keluar, pria
pemarah itu masih tertidur lelap seperti seekor babi. Jenny terpaksa menyeret
pria gemuk itu keluar.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara berdebum keras di
belakang Jenny. Gadis itu begitu terkejut ketika mendapati tempat kerjanya kini
rata dengan tanah. Dia terduduk lemas. Dia mengamati jalanan disekitarnya.
Banyak bangunan yang bernasib sama dengan termpat kerjanya. Namun banyak juga
bangunan yang masih berdiri dengan rapuh, siap untuk menimpa siapa saja yang
salah langkah ketika berjalan memasukinya. Orang-orang bertebaran di jalanan,
sebagian besar selamat tanpa luka serius, tapi ada pula beberapa korban yang
sudah tergeletak tak bernyawa, tidak dipedulikan apalagi ditangisi. Jenny
merasa miris. Bosnya belum bangun. ‘Dia
ini tidur atau mati, sih?’ pikirnya. Dia memutuskan untuk memeriksa pria itu,
dan napasnya tertahan ketika mendapati ada sebuah luka di kepala pria itu.
Banyak darah mengalir dari luka itu, darah segar. Berarti lukanya masih baru.
Jenny mulai ketakutan. Dia berteriak meminta tolong. “TOLONG! Siapa saja,
TOLONG!” teriak Jenny sekeras mungkin, tapi orang-orang disana terlalu sibuk
menolong diri mereka sendiri. Jenny mengerti. Dia berusaha keras untuk bangkit,
karena pria tua yang terbaring di dekatnya ini harus selamat. Dengan tenaganya
yang masih tersisa, dia menatih pria itu ke klinik terdekat.
Tak jauh dari tempatnya mulai berjalan, Jenny melihat ada
beberapa ambulans berjajar di jalanan. Mungkin tiga, atau empat? Entahlah, dia
terlalu lelah untuk menghitung mobil-mobil itu. Sebelum Jenny mengatakan
tolong, seorang pria telah berlari kearahnya. Pria itu mengambil alih tugasnya
untuk menatih bosnya. Tak lama kemudian, seorang wanita juga menghampiri Jenny
untuk menolongnya. Wanita itu memintanya duduk di pintu ambulans untuk
mengobati luka-lukanya. Jenny baru menyadari bahwa hampir separuh lengannya
terluka. Dari sobekan itu mengalir darah segar yang telah mengubah warna
pakaiannya. Wanita yang tadi menolongnya, kini sedang membersihkan dan mulai
menjahit sobekan itu. Setelah selesai, wanita itu tersenyum padanya, dan
menyuruhnya beristirahat sejenak serta mengatakan sesuatu pada Jenny agar dia
berhenti terlihat khawatir. “Semuanya akan baik-baik saja.” Kata wanita itu
tadi. Tiba-tiba saja, kata-kata itu mengingatkan Jenny pada ayahnya. Jenny
begitu takut tentang keadaan ayahnya. Itu membuatnya berlari sekuat tenaga
kerumah, meski dirinya sendiri masih kesakitan.
Melihat apa yang ada dihadapannya saat ini, Jenny tidak tahu
harus merasa bahagia atau merasa sedih. Ayahnya kini sedang duduk diatas
reruntuhan rumahnya sendiri, memegang sebuah botol vodka yang setengah penuh
sambil berbincang dengan seorang polisi. Jenny berjalan kearahnya perlahan.
“Ayah...” panggil Jenny. Ayahnya menengok, begitu pula polisi yang tadi
berbicara dengannya. “Oh! Lihat Pak polisi! Lihat.. putriku sudah pulang. Dia
adalah mesin uangku satu-satunya.” Kata ayahnya pada polisi itu, yang
membuatnya berdiri dari duduknya yang mengatakan sesuatu. “Nona Jenny, bisakah
kita bicara sebentar? Berdua saja” katanya. Jenny mengangguk. Awalnya, Jenny
mengira polisi itu akan memberikan kabar buruk kalau ayahnya akan segera
ditahan. Ternyata, dugaannya salah. Polisi itu mengucapkan terima kasih atas
tindakan ayahnya yang telah menyelamatkan tiga orang sekaligus, yang merupakan
tetangga-tetangga Jenny sendiri. Masih dalam keterkejutannya, Jenny lalu balas
mengucapkan terima kasih atas kebaikan polisi itu pada ayahnya. Ketika polisi
itu akhirnya pergi, Jenny menghampiri ayahnya dan memeluknya. Dia menangis. Dia
menangis bahagia karena ayahnya selamat. Entah secara sadar atau tidak, tangan
ayahnya ada di kepalanya, mengelus rambutnya lembut. “Gadisku tidak boleh
menangis.. cup, cup,” kata ayahnya. Namun bukannya membuatnya berhenti
menangis, elusan itu membuat Jenny menangis lebih keras. Dia tidak pernah
menyangka, sebuah bencana bisa mengubah ayahnya 180o. Yah, apapun
itu, Jenny sekarang sudah bisa menghela napas lega.
Sisi baiknya, Jenny tidak kehilangan satu lagi anggota
keluarganya. Sisi buruknya, Jenny dan ayahnya tidak punya tempat tinggal lagi.
Jenny tidak akan tega membiarkan ayahnya tidur di dekat reruntuhan, tapi Jenny
juga tidak punya solusi yang lain. Jenny berpikir sejenak, dan akhirnya
mengingat sesuatu. Dia ingat dia memiliki seorang teman perempuan, teman semasa
remaja, yang mungkin bisa membantunya. Jenny mulai mencari nomor teleponnya.
Jari-jari Jenny bergetar ketika memencet tombol-tombol di ponselnya. Jenny
menelpon teman itu. Namun dia tidak bisa berharap teleponnya akan diangkat.
Bukannya mustahil, hanya saja, kemungkinannya sangat kecil. Tetapi, setelah
dering kelima, suara seorang perempuan terdengar. Hal itu mengembalikan harapan
Jenny. Lalu, dia menyatakan maksudnya. Sedetik kemudian, sebuah senyum
mengembang di wajahnya. Teman itu bersedia membantunya.
Malam itu juga, Jenny dan ayahnya tiba di Hawthorne, sebuah
kota di Nevada dimana temannya tinggal. Tidak seperti Las Vegas yang glamor,
Hawthorne tampak damai. Tapi bukan itu yang terpenting. Jenny yang telah
mengantongi alamat rumah temannya itu, segera menuju kesana.
Disanalah mereka, Jenny dan ayahnya, di depan sebuah rumah
kecil yang sederhana. Rumah itu mengingatkan Jenny pada rumahnya sendiri.
Terasa hangat dan ramah. Jenny dan ayahnya berjalan ke beranda rumah itu, lalu
membunyikan bel. Tak butuh waktu lama, seorang gadis rupawan membuka pintu dan
mengurai senyum pada Jenny. Gadis itu banyak berubah, tapi dia tetap memiliki
sesuatu hal yang sama, sesuatu hal yang dikenal baik oleh Jenny. “Hai Jen!”
sapa gadis itu dengan ceria. “Hai, Patricia” balas Jenny. Kemudian mereka
berelukan untuk melepas rindu. Tak lupa, Jenny mengenalkan Patricia pada
ayahnya. Ayahnya tertawa renyah. Ternyata ayahnya masih mengingat teman dekat anaknya
yang satu ini. Patricia ikut tertawa ringan, lalu mempersilakan Jenny dan
ayahnya untuk masuk kedalam. Jenny dan Patricia berbagi banyak kisah setelah
lama tidak berjumpa. Jenny merasa senang karena temannya itu masih mau
menerimanya dengan baik meski setelah Jenny menceritakan apa saja yang dia
lakukan selama ini. Patricia selalu menjadi satu-satunya teman Jenny. Teman
yang tidak pernah menghakiminya.
Seminggu kemudian, sebuah ketukan pintu di pagi hari
mengejutkan seisi rumah Patricia. Seorang pria mencari Jenny dan ingin
membicarakan sesuatu dengannya. Pada Jenny, pria itu mengaku dirinya bernama
Antony Wells. Katanya, “Wells” adalah nama belakang ayahnya. Jenny terkejut
bukan main. Jenny mengenali nama itu, dengan pasti. Itu adalah nama belakang
bos restorannya yang pemarah. ‘Untuk apa anak bos datang kesini? Apa bos
mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku pada anaknya? Bagaimana pria ini bisa
tahu keberadaanku?’ pikiran-pikiran itu berkecambuk di kepalanya, mulai
membuatnya ketakutan. Tak disangka, jawaban pria itu membuat Jenny lebih kaget
lagi, sekaligus heran. Pria itu, Tony, meminta Jenny kembali ke Las Vegas. Dia
sangat berterimakasih pada Jenny karena telah menyelamatkan ayahnya, dan dia
ingin mengembalikan pekerjaan Jenny yang telah direnggut paksa darinya. Tony
bahkan menawarkan tempat tinggal sementara dan sedikit biaya penopang untuk
Jenny dan ayahnya. Tentu saja Jenny sangat menginginkannya. Tapi, dia tidak
bisa mengiyakan begitu saja. Las Vegas sudah cukup memberikan kenangan pahit baginya.
Jenny juga mengkhawatirkan ayahnya, dia takut ayahnya akan kembali melakukan
hal-hal buruk seperti dulu. Jenny mengatakan pada Tony kalau dia akan
mempertimbangkan tawarannya. Tony memaklumi, dia memberi Jenny nomor teleponnya
dan meminta Jenny untuk menghubunginya ketika Jenny sudah membuat keputusan.
Jenny membicarakan hal itu secara baik-baik dengan ayahnya.
Ternyata, ayahnya tidak keberatan untuk kembali ke Las Vegas. Ayahnya bahkan
berjanji, satu-satunya kejahatan yang mungkin akan dia lakukan hanyalah sebatas
mencuri sebotol vodka. Jenny tertawa. Dia bahkan tidak pernah menyangka ayahnya
akan mengatakan hal semacam itu hanya untuk membuatkan berhenti terlalu
memikirkan banyak masalah. Ayah Jenny meminta Jenny untuk mulai berdamai dengan
diri Jenny sendiri, tidak seperti dirinya yang selalu gagal untuk melakukannya
sampai sekarang. Jenny berjanji akan mulai melakukannya, dengan penuh
ketulusan.
[ SETAHUN KEMUDIAN ]
Terdengar tepuk tangan yang riuh di kantor manajer di sebuah
kafe. Setiap orang di ruangan itu bergantian mengucapkan selamat kepada seorang
gadis. Gadis itu pun membalasnya dengan ucapan terima kasih. Setelah semua
orang keluar dari ruangan itu dan kembali bekerja, gadis itu menatap mejanya
dengan penuh rasa bangga. Bukan karena meja itu adalah meja yang mahal dan
mewah, tetapi karena sebuah papan nama. Papan nama yang bertuliskan sebuah
nama, “JENNIFER JAMES”.
Komentar
Posting Komentar