Kangen (Cerita Pendek)
KANGEN
Oleh Ahsana Rizky M.
“Yang
sabar ya Elen, Eyang akan selalu ada di dekatmu...” kata tante Ratna.
Setiap orang yang datang ke rumah hari itu mengatakan hal yang sama padanya.
‘Mana mungkin... Eyang sudah pergi jauh...” pikir Elen, sembari duduk di teras
rumah dan merenung. Dia masih belum bisa menerima kenyataan kalau eyang Darma
sudah meninggal. Elen sangat menyayangi eyangnya, karena eyang lah yang selalu
menemaninya dan bermain dengannya ketika ayah dan bunda bekerja di kantor. Ayah
dan bunda Elen selalu sibuk. Mereka berangkat kerja pagi buta dan pulang larut
malam. Elen hampir tidak pernah berbincang dengan ayah dan bundanya. Terkadang,
Elen merasa sangat sedih, tidak ada yang bisa dia ajak bercerita. Ketika Elen
melihat teman-temannya diantar ke sekolah oleh ayah atau ibu mereka, muncul
rasa iri di dalam hati Elen. Elen bahkan pernah berpikir kalau orang tuanya
tidak lagi menyanyanginya. Disaat-saat seperti inilah, eyang Darma selalu ada
untuknya. Eyang lah yang selalu menenangkan perasaan Elen dan membuatnya merasa
senang lagi. Eyang Darma memang tinggal serumah dengan Elen. Dia ingat, tiap
malam, eyang Darma selalu bersantai di ruang keluarga, duduk diatas kursi
goyangnya, sambil berdzikir dengan sebuah tasbih tua. Eyang itu begitu berbeda
dengan ayahnya. Eyang Darma itu hangat dan pandai bercanda. Sedangkan ayah itu
serius. Bukannya Elen membenci sifat ayahnya, hanya saja, Elen merasa kalau
ayahnya begitu jauh. Tapi bagaimana pun juga, eyang selalu mengingatkan Elen
untuk tidak berpikiran buruk tentang ayah dan bundanya. Eyang Darma selalu
mengatakan, meskipun ayah dan bunda terlihat lebih mementingkan pekerjaan
mereka, jauh di lubuk hati, mereka begitu ingin menghabiskan waktu bersama
Elen. Tentu saja Elen percaya perkataan eyang. Karena suatu hari, waktu Elen
harus menghabiskan waktu di rumah sakit, dia pernah melihat bundanya menangis
di pelukan ayah. Bunda begitu takut kehilangan putri semata wayangnya. Waktu
itu, Elen ikut menitikkan air mata. Elen tahu eyang tidak pernah berbohong.
Dulu,
eyang punya sebuah permainan andalan. Permainan yang sangat disukai Elen.
Semacam petak umpet, tapi yang disembunyikan adalah sebuah harta karun. Untuk
menemukan harta karun itu, Elen harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan
memberikan sebuah petunjuk. Harta karun itu adalah sesuatu yang sangat
diinginkan Elen. Seperti gaun, jam tangan, atau buku. Bahkan eyang pernah
membelikan Elen sebuah kamus elektronik. ‘Aku bakal kangen eyang...’ pikir Elen
‘Eyang... sekarang pasti sudah di surga, ya?’. Lagi-lagi Elen menangis. Dia
memeluk kedua kakinya, menyembuyikan wajahnya yang merah dan napasnya yang
masih sesenggukan. Terdengar suara pintu terbuka di belakangnya. “Elen?” sapa
bunda “Elen kamu nggak apa apa kan, sayang? Sudah jangan menangis lagi, ayo
masuk, bunda sudah membuatkan kue kesukaanmu.” . “Elen masih kenyang bunda...”
katanya dengan suara yang bergetar. “Ya sudah, tapi kalau Elen lapar, bilang
sama bunda ya.” Jawab bunda lembut. Elen bohong. Sebenarnya Elen lapar. Elen
hanya takut menyakiti perasaan bunda kalau dia mengatakan yang sebenarnya.
Setelah merasa sedikit tenang, Elen memutuskan untuk masuk ke kamar dan tidur.
Sampai
keesokan harinya, Elen masih enggan untuk banyak bicara. Ketika ditanya, dia hanya menjawab dengan
menganggukkan atau menggelengkan kepalanya. Kelakuan Elen ini membuat ayah dan
bunda khawatir. Elen diam saja saat ayah dan bunda ada, mereka khawatir Elen
akan melakukan hal-hal yang tidak baik saat ditinggal sendirian di rumah. Karena
itu, bunda memutuskan untuk mengambil cuti kerja selama seminggu. Bunda ingin
menemani Elen dirumah.
Sebenarnya,
bunda tahu apa yang akan membuat Elen ceria lagi. Tapi bunda memutuskan untuk
merahasiakannya sementara waktu. Bunda ingin mendekati Elen dengan caranya
sendiri. Bunda akan memasakkan Elen bekal yang lezat, mengajak Elen rekreasi ke
taman, membuatkan Elen gaun baru, dan cara apapun yang akan disukainya.
Awalnya,
Elen tidak semangat dengan semua kegiatan yang direncanakan bunda, dia masih
ingin sendiri. Masih ingin mengenang eyang. Rasanya, apapun yang Elen lakukan
terasa hambar, bahkan ketika teman-temannya datang untuk menghibur, Elen belum
merasa lebih baik. Tapi, melihat usaha keras bunda untuk membuatnya senang,
perlahan-lahan, Elen mulai ceria lagi. Dia melihat sisi lain bunda. Bunda
terlihat benar-benar seperti... seorang bunda. Tidak seperti kemarin-kemarin. Dan
kalau biasanya bibi yang membuatkan sarapan dan bekal untuk Elen, sekarang
bunda yang melakukannya. Bahkan bunda bertanya terlebih dahulu malam harinya,
apa yang Elen ingin bunda masakkan. Melihat bunda yang seperti ini, membuat
Elen merasa bersalah. ‘Tidak seharusnya aku marah sama Bunda...’ pikir Elen. Karena
secara tidak langsung, bunda sudah meminta maaf kepada Elen.
Malam
harinya, Elen memutuskan untuk mulai berbincang dengan bunda. “Bunda” sapa
Elen. “Iya sayang, ada apa?” tanya bunda kemudian “Elen mau cerita, Bunda”,
“Tentu... ceritalah. Bunda akan mendengarkan sampai selesai”, “Bunda...
sebenarnya Elen belum rela Eyang pergi... Aku kangen Eyang, Bunda, masih pingin
main sama Eyang...”. Elen mulai menangis. Lalu bunda mengusap lembut rambut
Elen sambil berkata “Sayang... tidak baik bersikap seperi itu. Kalau Elen belum
mengikhlaskan Eyang, Eyang juga belum bisa tenang di surga. Eyang akan
mengkhawatirkan Elen, Eyang akan sedih... Ingat sayang, Eyang pernah berpesan
kalau suatu hari Eyang akan pergi dan Elen harus bisa merelakan. Tapi yakinlah,
Eyang akan selalu berada di sisi Elen, di sisi Ayah, dan disisi Bunda. Menjaga
kita semua. Eyang pasti mengunjungi rumah ini sesekali, bersama Uti.” , “Benar
begitu, Bunda? Jadi... Eyang nggak akan lupa sama Elen?” , “Tentu saja tidak.
Kamu itu cucu Eyang dan Uti satu-satunya...”. Elen mengusap air matanya,
sekarang dia merasa lega. Merasa lega karena akhirnya dia bisa menceritakan apa
yang dia rasakan pada bunda. Di dalam hatinya, mulai saat itu juga, Elen tidak
akan berbohong atau menyembunyikan apapun dari bunda lagi. Elen berjanji pada
dirinya sendiri.
Hari
ini Elen berencana untuk piknik bersama ayah dan bunda di taman, menghabiskan
akhir pekan. Bunda bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan makanan yang akan
dibawa piknik. Bunda bilang akan membuatkan makanan paling lezat buat Elen.
Tentu saja Elen bersemangat, sampai-sampai dia tidak bisa tidur. Malamnya, Elen
sudah memikirkan ini itu, apa saja yang ingin dia lakukan, apa saja yang akan
dia bicarakan dengan ayah dan bunda, apapun. Ketika bunda membangunkannya, Elen
tidak buang-buang waktu. Dia langsung membuka mata, menggeliat sebentar untuk
menghilangkan rasa pegal, lalu segera pergi mandi. Bunda sudah menyiapkan baju
baru untuk dipakai putrinya. Elen mengenakan baju itu, lalu berdiri dengan
bangga di depan cermin, melihat pantulan dirinya. Baju yang dibuatkan bunda sangat
cantik, dia sangat menyukainya. Segera saja Elen keluar dari kamar, memakai
sepatu putihnya dan masuk ke dalam mobil. “Ayah, Bunda, gimana? Elen cantik
nggak?” tanyanya ceria, “Tentu saja!” jawab bunda.
Setibanya
di taman, mereka menggelar tikar lalu duduk bertiga, menikmati santap pagi
buatan bunda. Elen bercerita banyak hal pada ayah dan bunda, yang menanggapi
celotehan Elen dengan tawa hangat. Bahkan ayah membuat lelucon-lelucon tentang
teman kerjanya. Elen tersenyum. Diam-diam dia merasa tersentuh. Kedua orang
tuanya kini berbeda, dengan cara yang
disukai Elen.
Tiba-tiba
saja Elen teringat eyang. Air mukanya langsung berubah. ‘Andai Eyang juga ada
disini...’ pikir Elen sedih. Seakan mengerti apa yang dia rasakan, Bunda
mengangkat dagu Elen dengan lembut. Bunda tersenyum. Tangan ayah terulur,
memberikan sebuah kertas pada Elen. “Ayah, ini apa?” tanya Elen. “Itu peta
harta karun, dari Eyang” jawab ayah. Sontak saja Elen terkejut, “Kenapa Eyang
menitipkan sebuah peta harta karun pada ayah?” , “Itu untukmu. Ada hadiah kecil
yang sudah disiapkan Eyang.” , “Tapi... kenapa baru sekarang, Ayah, Bunda?”
mata Elen mulai berkaca-kaca, “Karena, meski ayah dan bunda tahu hadiah itu
bisa memperbaiki perasaanmu, kami ingin membuatmu kembali ceria dengan cara kami
sendiri. Ayah dan bunda akan menjadi pengganti Eyang Darma-mu...”. Elen tidak
mampu berkata-kata lagi. Mereka benar-benar tulus melakukannya untuk Elen,
bukan semata-mata formalitas sepeninggal eyang. Elen menghambur ke pelukan ayah
dan bunda. Ia menangis. Menangis bahagia.
Sepulangnya
dari piknik, Elen segera berganti baju dan memulai ‘perburuan’ harta karunnya.
Dia bahkan memakai sepatu boots pink pemberian Eyang, agar semakin terlihat
seperti seorang pemburu harta karun dalam ‘treasure hunt’. Sambil membawa
sebuah senter, Elen mulai mencari tempat-tempat yang ditandai dalam peta. Ada 4
tempat di peta itu.
Tempat
pertama adalah ruang keluarga. Di sandaran kursi goyang eyang, ada sebuah kartu
kecil yang diikat dengan benang wol merah. Elen membuka kartu itu, lalu
membacanya. Disana tertulis :
Tempat
menyaksikan matahari terbit dan matahari tenggelam.
Sebuah
teka teki! Elen harus memecahkannya. “Tempat untuk melihat matahari terbit dan
tenggelam?” tanya Elen pada dirinya sendiri. Elen langsung bisa menebaknya.
“Balkon kamar Eyang!” seru Elen.
Elen
berlari dengan penuh semangat. Sesampainya di balkon, Elen melihat kartu lain
yang juga diikatkan di pagar balkon dengan benang wol yang sama. Elen
mengambilnya. Ada sebuah kalimat lain yang dituliskan di kartu itu. Bunyinya :
Barbie
Ana sangat cantik. Pakaikan gaun warna hijau ya, gaun putihnya sudah kusam.
“Barbie
Ana? Apa maksudnya? Barbie milik Ana temanku?” Elen bertanya-tanya. Dia
menebak-nebak. Ah! Bukan barbie milik Ana yang dimaksud eyang... tapi barbie
hadiah dari eyang sewaktu Elen masih kecil. Elen menamai boneka itu Ana. Tapi
dimana Ana sekarang? Elen sudah lama tidak memainkannya. Elen mencari
kesana-kemari dan akhirnya menemukannya. Boneka itu ditaruh di lemari kaca
ruang tamu. ‘Pasti Bunda yang menaruhnya disana...’ pikir Elen. Dia menarik
sebuah kursi untuk mengambil boneka itu. Benar saja, baju putih Ana memang
sudah kusam. Saat Elen akan memakaikan gaun hijaunya, ternyata di balik gaun
itu, ada kartu juga. Disana tertulis :
Bukankah senyum Uti itu indah?
‘Senyum Uti memang indah... tapi apa
ya?’ Elen berpikir keras. Petunjuk untuk menemukan tempat-tempat selanjutnya
bertambah sulit. Elen butuh waktu agak lama untuk bisa memecahkannya. Dia
menengok ke kiri, tidak sengaja melihat foto keluarga mereka. Semuanya
tersenyum bahagia di foto itu. Tiba-tiba Elen mendapat sebuah ide. Senyuman uti
bisa dilihat di sebuah foto. Elen teringat ada foto uti yang dipasang di kamar
ayah dan bunda. Segera saja dia ke kamar itu dan menengok apa yang ada di dabik
foto uti. Benar! Ada sebuah kartu disana. Tulisannya berbunyi :
Sudah dekat! Sekarang pergilah ke tempat
dimana semua kenangan disimpan... Dan kamu akan mendapatkan hadiah yang kamu
inginkan!
Elen
melompat-lompat gembira. Perburuan harta karunnya sudah hampir selesai. Elen
tahu jawaban dari teka-teki akhir ini. Elen berlari ke gudang, karena disnalah semua
barang disimpan. Ternyata gudangnya sudah dibersihkan, dan hanya ada sebuah
kotak kardus besar. Elen langsung membukanya. Di dalamnya ada sebuah buku. Buku
itu berisi foto-foto keluarga. Ada juga foto Elen dari kecil hingga sekarang.
Elen mulai menangis, memang benar ayah, bunda, eyang, uti, semuanya
menyayanginya. Elen baru menyadarinya sekarang.
Mulai hari itu juga, Elen tidak akan
murung lagi. Dia sudah mengikhlaskan kepergian eyang. Elen janji untuk kembali
ceria. Karena sekarang ada ayah dan bunda yang siap menemaninya kapanpun dia
membutuhkan.
Komentar
Posting Komentar